Walaupun Satjipto Rahardjo udah tiada, tetapi analisis guru besar sosiologi hukum berikut tentang hukum progresif perlu dilanjutkan dan diaktualisasikan lebih giat lagi, demi mewujudkan sebuah hukum yang berwajah keadilan. Hal itu dikarenakan menurut saya hukum yang diterapkan bet 10 di Indonesia sejauh ini tetap berbentuk normatif positivistik.
Sebagian orang memahami bahwa, semenjak hidupnya, Satjipto berulang kali mengingatkan bahwa filosofi hukum yang memang adalah “hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum”. Hukum bertugas melayani masyarakat, bukan sebaliknya. Kualitas suatu hukum ditentukan bersama kemampuannya untuk mengabdi terhadap kesejahteraan manusia.
Hal senada juga disebutkan didalam aliran utilitarianisme, Jeremy Bentham. Ia menyebutkan bahwa tujuan hukum adalah untuk mencapai the greatest happiness for the greatest number of people. (Jeremy Bentham, 1997).
Hukum progresif mempunyai logika yang mirip bersama Legal Realism, menyaksikan dan menilai hukum dari tujuan-tujuan sosial yang mengidamkan dicapai serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum itu. Hal ini disebut sebagai etika teleologis.
Cara berpikir teleologis ini bukan tidak mencermati hukum. Aturan penting, tetapi itu bukan ukuran paling akhir yang lebih diutamakan adalah tujuan dan akibat. Sebab itu, pertanyaan sentral didalam etika teleologis adalah apakah suatu tindakan itu bertolak dari tujuan yang baik? Apakah tindakan yang tujuannya baik itu juga berakibat baik? Tentu tidak.
Menurut Satjipto Rahardjo, keadilan justru diperoleh melalui intuisi hukum. Karena itu, argumen logis-formal dicari setelah keadilan ditentukan untuk membingkai secara yuridis-formal ketentuan yang dipercayai adil tersebut. (Satjipto Rahardjo, 2007).
Dalam rancangan hukum yang progresif, hukum tidak mengabdi terhadap dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya. Ini tidak sama bersama kebiasaan analytical jurisprudence (aliran hukum positivisme) yang cenderung menepis dunia luar dirinya; layaknya manusia, masyarakat, dan kesejahteraannya.
Dengan demikian, hukum perlu berbentuk responsif. Regulasi hukum dapat senantiasa dikaitkan bersama tujuan-tujuan sosial yang melampaui narasi tekstual didalam aturan. (Yanto Supriadi, 2010)
Dalam kebiasaan analisis positivisme, yang banyak dianut didalam negara demokrasi saat ini ini, hukum dikonsepsikan sebagai product legislasi. Hukum adalah aturan perundang-undangan yang dihasilkan melalui sistem legislasi nasional. Hukum berlaku, sebatas dikarenakan udah ditetapkan didalam wujud aturan perundang-undangan, tanpa menyaksikan apakah isinya adil atau tidak adil.
Penggunaan analisis legal-positivism, didalam kondisi hukum perundang-undangan yang konservatif/elitis, dapat membawa dampak kesenjangan (ketidakadilan) ekonomi dan kemiskinan (ketidak kesejahteraan) rakyat dapat semakin meluas, dikarenakan kemacetan demokrasi yang terjadi di bawah tekanan neoliberalisme dapat membawa dampak hukum yang dihasilkan dari sistem legislasi dapat cenderung berpihak terhadap keperluan elite dan melupakan keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak.
Karena itu, untuk pemulihannya, diperlukan upaya-upaya yang inovatif guna mendapatkan rancangan hukum yang lebih berpihak kepada keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Hukum kita saat ini seolah layaknya sebilah pisau, tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Terhadap orang kecil (the poor), hukum berbentuk represif; terhadap orang besar (the have), hukum berbentuk protektif dan memihaknya.
Fenomena peradilan terhadap the poor maupun the have seolah memperlihatkan bahwa penegakan hukum menemui kebuntuan legalitas formalnya untuk melahirkan keadilan substantif. Hal ini disebabkan slot garansi oleh dikarenakan penegak hukum terpenjara oleh penegakan hukum yang mengandalkan materi, kelembagaan, serta prosedur yang kaku dan anti bersama inisiasi melanggar aturan. (Suteki, 2010)
Seharusnya, keperluan rakyat (kesejahteraan dan kebahagiaan) perlu menjadi titik orientasi dan tujuan akhir penyelenggaraan hukum. Proses pergantian tidak ulang berpusat terhadap peraturan, tetapi terhadap kreativitas penegak hukum didalam mengaktualisasi hukum didalam area dan saat yang tepat.
Hukum progresif yang berharap pembebasan dari kebiasaan keterbelengguan, mempunyai kemiripan bersama analisis Roscoe Pound tentang hukum sebagai alat rekayasa sosial (social engineering). Usaha social engineering dianggap sebagai kewajiban untuk mendapatkan cara-cara yang paling baik bagi memajukan atau mengarahkan masyarakat.
Bukti nyata tentang pemanfaatan hukum sebagai alat pergantian sosial terjadi di Amerika Serikat terhadap 1954. Keputusan Mahkamah Agung Amerika untuk membuat perubahan perilaku orang kulit putih Amerika, yang di awalnya menyimpan sikap prasangka terhadap orang-orang negro.
Untuk menyingkirkan sikap tersebut, Mahkamah Agung melalui putusannya, bahwa pemisahan ras di sekolah-sekolah negeri bertentangan bersama konstitusi Amerika. (Satjipto Rahardjo, 1983).
Gerakan hukum progresif lahir akibat kekecewaan kepada penegak hukum, baik hakim, jaksa, polisi, ataupun advokat yang sering “berpandangan” positivistik. Yakni, hanya terpaku terhadap teks didalam undang-undang tanpa mau menggali lebih didalam keadilan yang ada di masyarakat. Para penganut positivisme sering berdalih memahami civil law yang dianut Indonesia mengharuskan hakim sebagai corong undang-undang (la bouche de la loi).
Penerapan hukum progresif, yang terhadap dasarnya terarah kepada para penegak hukum ini, diinginkan dapat sanggup mengarahkan hukum yang dihasilkan oleh sistem legislasi, yang cenderung elitis, untuk mengarah terhadap keperluan keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak.
Dalam pandangan hukum progresif, penegak hukum perlu mempunyai kepekaan terhadap persoalan-persoalan krusial didalam hubungan–hubungan manusia, juga keterbelengguan manusia didalam struktur-struktur yang menindas; baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Dalam konteks ini, hukum progresif perlu tampil sebagai institusi yang emansipatif (membebaskan). Di sinilah peran sentral para penegak hukum tersebut.
Para penegak hukum sanggup laksanakan pergantian yang kreatif terhadap aturan yang ada tanpa perlu tunggu pergantian aturan (changing the law). Peraturan yang buruk tidak perlu menjadi penghalang bagi para pelaku hukum untuk menghadirkan keadilan bagi rakyat dan pencari keadilan, dikarenakan mereka sanggup laksanakan interpretasi secara baru terhadap suatu peraturan.
Untuk sanggup menghadirkan deskripsi hukum yang utuh di tengah masyarakat, mau atau tidak, kita (penegak hukum) perlu mempelajari hukum dan cara berhukum kita bersama berani muncul dari urutan kebiasaan penegakan hukum yang hanya bersandarkan kepada aturan perundang-undangan belaka.
Hukum bukan sebatas perundang-undangan yang berada area hampa yang steril dari aspek-aspek non-hukum. Hukum perlu diamati didalam perspektif sosial, dikarenakan hukum bukan hanya rule, melainkan juga behavior. Hukum perlu progresif menyongsong pergantian sosial bersama senantiasa mengupayakan menghadirkan keadilan substantif.
Kalau kita lihat, sebenarnya, udah ada pintu masuk bagi penerapan hukum progresif didalam praktik pengadilan di Indonesia, secara resmi udah diberikan oleh UU Kekuasaan Kehakiman yang memastikan bahwa kekuasaan kehakiman bertugas untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Dalam rangka itu, hakim diwajibkan untuk menggali nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup didalam masyarakat. Ini artinya bahwa hakim tidak sekadar bertugas menerapkan aturan apa adanya, tetapi bagaimana penerapan itu sanggup mewujudkan keadilan. Di sini kreativitas hakim slot bet 200 menjadi benar-benar menentukan. Dengan begini, maka keadilan yang substantif dapat tercapai.
Akhirnya, penegak hukum beroleh peran yang utama untuk mengaktualisasikan hukum yang progresif. Para penegak hukum, baik hakim, jaksa, polisi maupun advokat, perlu mempunyai kesadaran, empati, keberpihakan, dan kepedulian atas penderitaan yang dialami rakyat kecil. Dengan demikian, keadilan substantif dapat terwujud.